Sabtu, 31 Desember 2016

PANGERAN PENATAS ANGIN


MENGENAL RIWAYAT PANGERAN NATAS ANGIN

Kita mafhum bahwa berdiri tegak dan berjayanya Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa tempo doeloe adalah berkat dukungan dan perjuangan dari banyak tokoh, terutama sekali karena di dukung oleh suatu dewan dakwah  yang dikenal dengan sebutan “Walisanga” (Wali Sembilan). Namun belum banyak yang mengetahui bahwa diantara tokoh – tokoh yang dulu ikut mendukung dan memperjuangkan kejayaan kerajaan Islam Demak itu, ternyata di dalamya terdapat tokoh dari tanah seberang, yaitu Pangeran Natas Angin yang berasal dari Kerajaan Gowa, Makassar Sulawesi Selatan.

Siapa sih pangeran Natas Angin itu?
Pangeran Natas Angin aslinya adalah seorang bangsawan yang berasal dari Kerajaan Gowa di Sombaopu, Makasar, sulawesi selatan. Lahir pada tahun 1498. Siapa areng ri kale (nama kecilnya) tidak diketahui, sedang areng paddaengang (nama gelar kebangsawanannya)  adalah Daeng Mangemba Nattisoang. Ayahanda Daeng Mangemba Nattisoang (Pangeran Natas Angin) adalah Raja Gowa ke-9 bernama Karaeng Tumapa’risi Kalonna yang memerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1491 – 1527. Ibundanya bernama I Malati Daeng Bau’, puteri dari salah seorang pembesar kerajaan Tallo yang tinggal di daerah Marusu’.
Konon isteri Raja Gowa ke-9 itu banyak. Dari perkawinannya dengan I Malati Daeng Bau’, hanya menurunkan seorang putera yaitu Daeng Nattisoang. Karena ibunda Pangeran Natas Angin ini hanya seorang puteri pembesar kerajaan Tallo atau bukan puteri raja, maka darah kebangsawanannya dianggap kurang penting. Dengan demikian darah kebangsawanan Pangeran Natas Angin ini-pun dalam tata urutan Raja-raja Gowa dianggap kurang tinggi.
Pangeran Natas Angin termasuk golongan anak sipuwe (anak separoh) dan bukan merupakan anak pattola (putera mahkota) yang paling memenuhi syarat berhak untuk menggantikan raja. Adapun putera mahkota yang paling memenuhi syarat untuk menggantikan raja Gowa adalah putera-putera yang lahir dari permaisuri. Permaisuri Raja Gowa ke-9 adalah puteri dari Karaeng Tunilabu ri Suriwa, raja tallo ll. Dari perkawinan ini baginda dikaruniai empat orang putera yaitu :
Karaeng Tunipalangga (akhirnya menjadi Raja Gowa ke-10)
Karaeng Tunibatta (akhirnya menjadi Raja Gowa ke-11 )
I Tapicinna Karaeng ri Bone (perempuan)
I Sapi Karaeng ri Sombaopu (Perempuan)
Masa kecil Pangeran Natas Angin hidup dalam lingkungan keluarga kerajaan Gowa yang taat pada agama/kepercayaan leluhur. Saat itu pengaruh Islam sama sekali belum masuk ke dalam lingkungan keluarga kerajaan Gowa.
Sejak kecil Pangeran Natas Angin sudah getol mempelajari berbagai macam ilmu kanuragan dan ilmu kesaktian. Guru yang membimbingnya sejak kecil bernama Daeng Pomatte'. Daeng Pomatte' ini adalah kakak kandung I Malati Daeng Bau', ibunda Pangeran Natas Angin. Setelah I Malati Daeng Bau' dijadikan selir oleh raja Gowa ke-9, Daeng Pomatte' ikut pindah ke Gowa dan diberi kedudukan sebagai “Juru tulis" kerajaan. Jadi guru Pangeran Natas Angin ini sebenarnya masih termasuk mamak atau pamannya sendiri
Sejak usianya tujuh tahun ia sudah sering diajak oleh gurunya pergi ke suatu tempat -yang dilalui angin kencang, berjurang terjal di antara bukit-bukit yang menjulang tinggi di dekat pantai Selat Makassar. Penulis menduga bahwa tempat yang dulunya digunakan untuk berlatih ilmu menolak angin tersebut, lokasinya sekarang ini adalah tempat dimana berdirinya Stadion Mattoangin.
Di tempat yang dilalui angin kencang inilah Pangeran Natas Angin berlatih Ilmu kanuragan dan ilmu tenaga dalam dengan cara berlatih menolak atau menghalau angin dengan kedua telapak tangannya. Berkat kegigihan semangat, ketekunan, keyakinan, serta penghayatannya dalam berlatih ilmu, akhirnya pangeran Natas Angin memperoleh keberhasilan. Pada usia sembilan tahun sudah berhasil menguasai ilmu "tolak angin", yaitu kemampuan menghalau angin dengan kedua telapak tangannya sehingga angin berbalik arah.
Kemampuan menghalau angin dengan kedua telapak tangannya sehingga angin berbalik arah.
Kemampuan Pangeran Natas Angin dalam menghalau angin ini akhirnya diketahui oleh orang banyak, termasuk juga diketahui oleh pihak keluarga kerajaan. Karena kemampuannya "menghalau" angin tersebut, lantas masyarakat adat Kerajaan Gowa memberinya nama sebutan "Mangemba", bahasa Makassar berarti "menghalau". Sejak saat itu namanya dikenal dengan Daeng Mangemba Nattisoang, bahasa Makassar berarti "Pangeran yang Menghalau Angin"
Meskipun Pangeran Natas Angin hanya seorang anak sipuwue, namun karena memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, ia sering diajak mendampingi ayahandanya berperang untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan lain. Pada tahun 1511 Pangeran Natas Angin berjasa dalam menaklukkan negeri Garassi, yaitu dengan cara menghempaskan panglima perang kerajaan Garassi dengan pukulan tenaga dalam. Akibat pukulan itu, bagian belakang kepala panglima perang Garassi membentur batu dan akhirnya tewas.
Pada suatu hari dalam tahun 1512, Pangeran Natas Angin diajak ayahandanya untuk mendampingi baginda memerangi orang-orang Islam dari Jawa yang tinggal di Kampung Pammolingkang, daerah sekitar Gowa.
Komunitas Islam dari Jawa yang tinggal di daerah sekitar Gowa ini berjumlah sekitar 100 orang, dan dipimpin oleh Kyai Sulasi, orang Gowa menyebutnya I Galasi.
Raja Gowa ke-9 memerangi orang-orang dari Jawa karena termakan hasutan sahabat barunya, yaitu orang-orang Portugis yang telah berhasil menguasai Malaka sejak tahun 1511. Portugis mengatakan kepada baginda, bahwa orang-orang Islam dari Jawa yang tinggal di sekitar Gowa itu harus diperangi karena mereka adalah sekutu Katir, yaitu seorang pemuda dari Jawa (Jepara) yang sering mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Portugis di perairan Selat Malaka.
Pemuda Katir ini di mata orang-orang Portugis di-cap sebagai seorang bajak laut di perairan Selat Malaka yang paling ditakuti. la sering memblokir dan merompak kapal-kapal dagang pengangkut beras kiriman dari Jawa yang di-impor Portugis untuk memenuhi kebutuhan Malaka, sehingga orang-orang Portugis mengalami kekurangan makanan. Apabila Katir memiliki cukup bekal bahan makanan, maka perlawanan terhadap Portugis diteruskan. Namun jika Katir kehabisan bekal makanan, maka perang dihentikan dan akan diteruskan lagi setelah memperoleh bekal bahan makanan.

Siapakah Katir dan Kyai Sulasi (I Galasi) itu?
Sebenarnya antara Katir, Kyai Sulasi (l Galasi), dan Pangeran Pati Unus (putera Sultan Fattah) sudah bersahabat erat sejak masih usia remaja. Katir adalah putera salah seorang pembesar Kerajaan Demak, sedangkan Kyai Sulasi adalah putera Syeh Khadlir Mularasa, seorang ulama asli dari Demak. Syeh Khadlir Mularasa ini adalah seorang ulama ahli Qura’an yang ditunjuk oleh Sultan Fattah untuk mengajar mengaji Al-Qura’an kepada para putera Sultan Fattah, di antaranya adalah: Pangeran Sekar, Pangeran Pati Unus, dan Pangeran Trenggono. Jadi antara Katir, Kyai Sulasi, dan Pangeran Pati Unus ini sudah menjalin persahabatan sejak mereka sama-sama berguru mengaji Al-Qura’an kepada Syeh Khadlir Mularasa. Di kemudian hari mereka bertiga ini dikenal sebagai tokoh pemuda Jawa yang sangat gigih memerangi orang-orang Portugis yang menguasai Selat Malaka.
Saat Pangeran Pati Unus diangkat sebagai adipati di Jepara. ayah Katir diangkat sebagai penasihatnya dan ikut pindah ke Jepara. Tidak lama setelah menjabat sebagai adipati di Jepara, Pangeran Pati Unus mendengar kabar bahwa Portugis menguasai Selat Malaka dan menjalankan politik monopoli perdagangan di sana.
Tindakan Portugis ini dinilai oleh Pati Unus sangat merugikan pihak Jepara dan Demak yang sebelumnya sudah menjalin hubungan dagang dengan Malaka. Pangeran Pati Unus atas restu Sultan Fattah di Demak berniat untuk memerangi orang-orang Portugis yang menguasai Malaka tersebut. Maka diaturlah siasat sebagai berikut : Katir, dikirim ke Malaka dengan membawa pasukan sebanyak 100 orang. Misi utama Katir adalah untuk menghubungi raja-raja di sekitar Selat Malaka agar bersedia menjadi sekutu bagi armada Demak pada saat Menggempur Portugis di Malaka secara besar-besaran pada tanggal 1 Januari 1513 nanti.
Kyai Sulasi, dikirim ke Gowa dengan membawa 100 orang. Misi utama Kyai Sulasi sama dengan misi Katir, hanya berbeda wilayah tugasnya.
Ternyata misi rahasia Katir di Selat Malaka dan Kyai Sulasi di Gowa ini tercium oleh orang-orang Portugis. Itulah sebabnya, pada Juni 1512, Portugis meminta Raja Gowa ke-9 agar memerangi orang-orang lslam dari Jawa yang tinggal di Kampung Pammolingkang (dekat Gowa).
Demi memenuhi permintaan orang-orang Portugis yang dianggap sebagai sahabatnya, Raja Gowa ke-9 membawa 300 orang prajurit ke Kampung Pammolingkang untuk menggempur orang-orang Kyai Sulasi yang hanya berjumlah 100 orang. Namun sebelum perang besar terjadi, untuk menghindari jatuhnya banyak korban dari rakyat kecil yang tidak berdosa, Kyai Sulasi segera membuat siasat cerdik. Ia menantang raja Gowa untuk berduel adu kesaktian.
Karaeng Tumapa'risi Kallona adalah seorang raja kesatria yang gagah berani. Baginda menyambut baik tantangan duel dari Kyai Sulasi. Prajurit masing-masing pihak diperkenankan menonton duel tersebut secara terbuka. Setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya baginda raja mengakui kesaktian Kyai Sulasi. Pada pertarungan tersebut, Pangeran Natas Angin tidak mau membantu ayahandanya karena mengetahui bahwa ayahandanya berada di pihak yang keliru. Ia hanya menonton saja ketika leher ayahandanya mengalami cidera terkena jurus pukulan jarak jauh yang dikirimkan oleh Kyai Sulasi.
Melihat kenyataan tersebut, baginda raja tidak marah kepada puteranya yang tidak mau membantunya. Rupanya baginda menyadari kekeliruan sikapnya karena telah menuruti kemauan Portugis memerangi orang-orang Islam dari Jawa, yang sebenarnya tidak memiliki kesalahan terhadap raja. Bahkan akhirnya, baginda justeru mengabulkan niat putranya yang ingin ikut membantu perjuangan "Laskar Pati Unus" untuk menggempur Portugis di Selat Malaka, yang direncanakan akan dilancarkan pada tanggal 1 Januari 1513.Berhijrah ke Demak
Setelah mendapat restu dari ayahandanya, Daeng Mangemba Nattisoang pun segera ikut berlayar bersama Kyai Sulasi. Dalam perjalanan dari Gowa menuju Selat Malaka, kapal yang ditumpangi Kyai Sulasi berangkat dari Pammolingkang (sekarang Galesong) melewati perairan Laut Jawa untuk bergabung dengan "Laskar Pati Unus" di Pelabuhan Jepara. Dari Pelabuhan Jepara selanjutnya armada Demak yang dipimpin oleh Pangeran Pati Unus akan berangkat secara bersama-sama ke Selat Malaka.
Tercatat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia III (Nugroho Notosusanto,1993 : 50), bahwa kekuatan armada Demak yang dikerahkan ke Selat Malaka berjumlah 10.000 prajurit yang mengendarai 100 jung (kapal). Rute yang ditempuh adalah: Pelabuhan Jepara, melewati perairan Selat Bangka, Selat Berhala, perairan Riau, dan akhirnva menuju Selat Malaka. Ketika armada Demak sampai di perairan Selat Berhala (perairan di sebelah barat Pulau Singkep), armada Demak terhambat oleh amukan badai topan. Akibat serangan badai tersebut, beberapa kapal armada Demak mengalami kerusakan, bahkan ada kapal yang terbalik sehingga prajuritnya tercebur ke laut dan akhirnya tewas.Melihat keadaan yang sangat membahayakan itu, Daeng Mangemba Nattisoang cepat mengambil inisiatif dan segera bertindak. llmu "Menolak Angin" yang dikuasainya segera diamalkannya Atas izin Tuhan Yang Maha Kuasa, angin topan tatas (berhasil dihalau) oleh Daeng Mangemba Nattisoang sehingga akhirnya armada Demak bisa melanjutkan perjalanan sampai ke Selat Malaka.
Oleh sebab jasanya berhasil "mengatasi" angin topan yang menggila tadi, Pangeran Pati Unus berkenan menganugerahkan nama sebutan "Pangeran Penatas Angin" sebagai pengganti nama Daeng Mangemba Nattisoang yang agak sulit diucapkan oleh lidah orang Jawa.  Nama ini sesuai dengan nama gelar dari negeri asalnya Daeng "Mangemba" Nattisoang, bahasa Makassar artinya "Pangeran yang menghalau angin”. Nah, sejak saat itu nama "Pangeran Penatas Angin" atau ”Pangeran Natas Angin" menjadi lebih dikenal oleh masyarakat luas hingga sekarang.
Setelah badai topan reda, akhirnya armada Demak berhasil rnencapai Selat Malaka. Perang besar antara armada Demak dan armada Portugis pun tidak terelakkan lagi. Tercatat dalam sejarah, perang terjadi pada tanggal 1 Januari 1513. Dalam perang tersebut armada Demak mengalami kekalahan telak. Dari 100 kapal dengan 10.000 prajurit, hanya tinggal tujuh buah kapal dengan sekitar 700 prajurit yang selamat dan kembali ke Jawa.
Sungguh pilu hati Pangeran Natas Angin menyaksikan kekalahan tragis armada Demak tersebut. Senjata dari kapal-kapal Portugis dirasakan terlalu berat untuk dilawan. Daya bunuh meriam dari kapal-kapal Poilugis sangat besar, sehingga dalam waktu yang singkat saja bisa menghancurkan puluhan kapal-kapal armada Demak dan menewaskan ribuan prajuritnya. Peristiwa tersebut, numbuhkan rasa simpati Pangeran Natas Angin terhadap armada Demak, dan memuncuIkan anti pati (kebencian) terhadap orang-orang Portugis.
Terdorong oleh rasa simpatinya terhadap armada Demak yang semuanya adalah orang-orang Islam dari Jawa, akhirnya Pangeran Natas Angin memutuskan untuk berhijrah ke Demak. Ia tidak mau pulang ke Gowa, melainkan terus ikut kapal Kyai Sulasi pergi ke Jawa untuk berguru ilmu-ilmu agama lslam sambil nrengabdikan diri di Kerajaan lslam Demak.Menjadi Murid Sunan Kalijaga
Sudah bulat tekad di dalam hati Pangeran Natas Angin untuk berhijrah ke Demak meninggalkan tanah kelahiran dan sanak keluarganya, meninggalkan segala kemewahan dunia sebagai putera raja, juga meninggalkan tradisi spiritual yang sangat pekat diwarnai oleh ketaatan ajaran kepercayaan leluhur di Kerajaan Gowa secara turun temurun.
Keterlibatannya dalam membantu perang besar antara armada Demak dengan Portugis di Selat Malaka telah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga bagi Pangeran Natas Angin. Bahwa ternyata, kebahagiaan hidup itu tidak dapat dicapai hanya melalui kemewahan harta dunia. Orang bisa mencapai kebahagiaan hidup yang sempurna, justru setelah ia mampu "meninggalkan keduniawian" dengan ikhlas. Pendapat ini dipahaminya melalui peristiwa nyata, yang ditangkap dari sikap ksatria yang telah dicontohkan oleh ribuan prajurit Demak yang telah gugur dalam perang besar melawan penjajahan Portugis di Selat Malaka.
Selama dalam perjalanan ke Jawa, Pangeran Natas Angin memperoleh banyak penjelasan berharga dari Kyai Sulasi (l Galasi), bahwa para prajurit Demak sanggup berperang dengan gagah berani dan mereka rela berkorban apa saja demi membela kebenaran dan keyakinan agamanya (lslam). Dalam pandangan lslam diyakini, bahwa "cinta tanah air'' adalah sebagian dari iman kepada Allah SWT.
Orang-orang portugis, di mata prajurit Demak dipandang sebagai Bangsa asing pendatang yang ingin menjajah dan menguasai Negeri-negeri di Nusantara. Dengan melakukan politik monopoli perdagangan di Selat Malaka, orang-orang Portugis terbukti sudah mengganggu dan mengancam kepentingan umum. Maka berperang melawan mereka itu wajib hukumnya, dan nanti mati di dalamnya adalah syahid (mati di dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan).Kyai sulasi menjelaskan kepada Pangeran Natas Angin, mati syahid adalah dambaan bagi setiap orang Islam karena dijanjikan oleh Allah akan memperoleh pahala surga. Surga adalah sebaik-baik balasan dari Allah di alam akhirat kelak, dan surga Allah hanya bisa diraih seseorang melalui perjuangan dan pengorbanan yang sangat besar. Surga Allah itu akan ditemukan kelak di alam akhirat, tetapi jalannya harus dicari dan diperjuangkan sejak kita masih hidup di dunia ini melalui amal perbuatan dan ibadah-ibadah sesuai ketentuan agama. Para prajurit Demak yang beragama Islam melihat bahwa perang besar melawan orang-orang Portugis adalah "jalan" untuk menuju surga Allah. Itulah sebabnya mereka berbondong-bondong menempuh jalan secara ikhlas, semata mencari ridlo Allah.
Begitulah, selama dalam perjalanan menuju Jawa tersebut Pangeran Natas Angin telah banyak bertukar wawasan tentang “kemuliaan hidup” dengan Kyai Sulasi, sahabat barunya. Dari perbincangannya dengan Kyai Sulasi itu hati Pangeran Natas Angin mulai tertarik ingin mempelajari agama Islam lebih dalam lagi. Lantas keinginan hatinya itu disampaikannya tanpa ragu kepada Kyai Sulasi. Kyai sulasi menyarankan jika Pangeran Natas Angin ingin mempelajari lebih dalam lagi tentang agama islam, maka sebaiknya ia berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Namun untuk bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga itu, tidak gampang karena beliau sering berpindah-pindah tempat untuk mengajarkan agama lslam kepada para penduduk. Kyai Sulasi memperoleh kabar, bahwa terakhir kali Kanjeng Sunan Kalijaga berada di Kadipaten Tegal. Oleh karena itu ia segera membawa kapalnya langsung menuju ke Pelabuhan Tegal. Setelah kapal berlabuh di pelabuhan tegal, Pangeran Natas Angin berpisah dengan Kyai Suiasi. Selanjutnya Pangeran Natas Angin bermukim di pesisir tegal hingga dua tahun.Mengingat bahwa Pangeran Natas Angin itu adalah seorang pemuda keturunan raja tentu kepergiannya ke tanah Jawa sudah berbekal berbagai macam ilmu dan berbudi pekerti yang luhur. Maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang singkat saja Pangeran Natas Angin sudah dapat hidup membaur dengan masyarakat setempat. Pangeran Natas Angin adalah seorang pemuda gagah yang berwatak keras, namun hatinya lembut. Ia gemar memberi pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Orang yang sakit diobati, orang miskin disantuni, orang yang lemah dibela, budak belian dimerdekakan.
Demikianlah perlakuan Pangeran Natas Angin kepada para penduduk di sekitar Pantai tegal pada waktu itu. Sikap dan perlakuan Pangeran Natas Angin membuat dirinya mudah diterima dalam bergaul dengan orang banyak. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat Pangeran Natas Angin sudah dikenal dan dihormati penduduk setempat. Sambil menjalani kehidupan sehari-harinya di pantai Tegal, Pangeran Natas Angin terus-menerus memasang telinga untuk mendengar khabar dari warga tentang keberadaan Kanjeng Sunan Kalijaga. Setelah bermukim di pantai Tegal selama dua tahun, akhirnya Pangeran Natas Angin melanjutkan perjalanan mencari Sunan Kalijaga ke Negeri Demak. Tahun 1515 M Pangeran Natas Angin sampai di Demak.
Singkat cerita Pangeran Natas Angin Akhirnya bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga bersedia membimbing Pangeran Natas Angin dalam mempelajari keluasan ilmu-ilmu Islam, tetapi dengan syarat Pangeran Natas Angin harus lulus ilmu pandadaran atau ujian terlebih dahulu. maksud diadakannya ujian ini untuk mengetahui kemampuan awal serta untuk mengukur seberapa besar kemantapan hati Pangeran Natas Angin ingin berguru kepada Kanjeng Sunan Kalliaga. Dengan mengetahui kemampuan awal siswa, maka sang Guru akan dapat memberikan pelajaran yang tepat dan bijaksana kepada siswanya.Tiga Materi Ujian dari Sunan Kalijaga.
Ringkas cerita pada waktu dan tempat yang telah ditentukan, Pangeran Natas Angin bersiap menjalani pendadaran atau ujian. Ada tiga macam ujian yang diberikan Sunan Kalijaga kepada Pangeran Natas Angin yang kesemuanya menurut intuisi penulis, mengandung makna filosofis yang sangat mendalam.
Ujian pertama, tentang Pengendalian Diri. Sunan Kalijaga menciptakan api yang berkobar-kobar, Pangeran Natas Angin diminta supaya bisa nyirep atau memadamkan api tadi sebelum merusak (membakar) sekeliling dan merugikan penduduk. Pangeran Natas Angin mohon izin kepada Kanjeng Sunan Kalijaga untuk menjawab ujian yang pertama. Kanjeng Sunan mengijinkan, kemudian dengan bemodalkan izin dari Guru, Pangeran Natas Angin berdoa memohon pertolongan dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Seketika terjadi keanehan alam. Langit tiba-tiba mendung tebal, petir menyambar di angkasa, kemudian disusul turunnya hujan deras mengguyur api yang berkobar-kobar tadi. Api akhirnya padam, dan Pangeran Natas Angin dinyatakan lulus pada ujian yang pertama. Ujian yang pertama ini mengandung pelajaran hikmah yang menggambarkan, bahwa orang yang akan meraih keutamaan itu terlebih dahulu harus bisa mengendalikan hawa nafsu angkara murka. Nafsu angkara murka digambarkan api besar yang berkobar-kobar. Jika tidak disirep atau dikendalikan, salah-salah api tadi bisa membakar segala sesuatu, termasuk merusak diri sendiri.
Untuk dapat mengendalikan nafsu maka seseorang harus membersihkan hati, merasa kosong, lemah tak berdaya kecuali dengan pertolongan dari Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan ketika seorang hamba sudah bisa mencapai keadaan kosong, maka datanglah keadaan isi berupa rahmat serta pertolongan dari Allah Tuhan Yang Maha Agung. Rahmat dan pertolonqan Allah digambarkan dengan turunya hujan deras mengguyur dan Memadamkan api yang menyala-nyala.
Ujian Kedua, tentang Kepemimpinan. Sunan Kalijaga mendatangkan lebah yang beribu-ribu ekor jumlanya. Kanjeng Sunan Kalijaga kemudian meminta kepada Pangeran Natas Angin supaya merekayasa, dengan cara bagaimana agar ribuan ekor lebah tadi tidak membuat rusak dan menimbulkan kerugian bahkan syukur-syukur lebah itu bermanfaat bagi sekalian umat. Sebelum menjawab ujian kedua, Pangeran Natas Angin tidak lupa memohon izin kepada Kanjeng Guru Sunan Kalijaga. Setelah memperoleh restu, selanjutnya, Pangeran Natas Angin berdoa memohon pertolongan Allah Yang Maha Kuasa. Berkat pertolongan Allah. tiba-tiba di tempat tersebut bermunculan rumah lebah yang disebut tala sampai ratusan lempeng jumlahnya, Lempeng-lempeng tala tadi menempel di sela-sela pelepah pohon nyiur yang terdapat disekitar sekeliling arena pendadaran tersebut. Seketika ribuan lebah tadi terbang berduyun-duyun saling berebut tempat memasuki tala yang memang sudah selayaknya menjadi rumah lebah. Melihat kenyataan itu, puaslah hati Sunan Kalijaga. Pangeran Natas Angin dinyatakan lulus pada ujian yang kedua. Ujian yang kedua ini mengandung hikmah pelajaran bahwa utama-utamanya manusia itu adalah orang yang dapat menggunakan daya akal atau pikirannya agar menghasilkan karya yang membawa manfaat kepada umat. Menggunakan daya akal dan pikirnya untuk menata, memimpin, dan mengarahkan semua warga dengan baik, serta bisa menempatkan derajat kemanusiaan di tempat yang layak. Jika semua warga sudah bisa diopeni dengan baik, tentu mereka tidak akan membuat kerusakan, apalagi berbuat keonaran. Malah sebaliknya, warga akan bisa menghasilkan karya besar yang bermanfaat besar bagi kehidupan. Digambarkan seperti lebah yang istiqomah mendiami rumah tala, lama-lama akan menghasilkan madu yang suci, halal, dan banyak sekali manfaatnyaUjian ketiga, ujian yang terakhir tentang Keyakinan dan Kebersihan hati. Kanjeng Sunan Kalijaga melakukan besut sukma. Sukma Kanjeng Sunan Kalijaga naik ke angkasa bersembunyi di balik mega. Pangeran Natas Angin disuruh mencari dan menemukan sukma Kanjeng Sunan Kalijaga. Jika berhasil pada Ujian ini, Kanjeng Sunan Kalijaga berjanji akan menerima Pangeran Natas Angin sebagai murid yang paling dikasihi lahir dan batin, sejak di dunia sampai di akhirat. Mendengar janji Kanjeng Guru seperti itu, Pangeran Natas Angin merasa bergembira. Jauh di dalam lubuk hatinya tersimpan keyakinan, bahwa dengan berbekal restu Bapa Guru, pastilah Gusti Guru Yang Maha Pengasih akan memberi pertolongan. Pangeran Natas Angin pun segera mengheningkan cipta, membayangkan dirinya terbang ke angkasa selalu mengikuti kemana Kanjeng Sunan Kalijaga pergi. Setelah berhasil menciptakan bayangan seperti itu, lantas beliau pasrah bersandar pada kekuasaan Allah, sambil berdoa memohon pertolongan-Nya agar bisa melakukan besut sukma seperti halnya yang tadi dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Doanya terkabul, sukma pangeran Natas Angin meninggalkan raga naik ke angkasa, menerobos awan dan mega-mega, di dalam karsa ingin menemukan di mana sukma Sang Guru Sejati berada. Berkat petunjuk dan pertongan dari Gusti Allah, akhirnya sukma pangeran Natas Angin berhasil menemukan sukma Sunan Kalijaga. Selanjutnya, dengan bertempat di angkasa, Kanjeng Sunan Kalijaga memberikan wejangan kepada Pangeran Natas Angin tentang kemuliaan dan keutamaan ajaran agama lslam juga dengan bertempat di angkasa, Kanjeng Sunan Kalijaga menuntun Pangeran Natas Angin untuk memasuki gerbang agama Islam, yaitu dengan cara mengucapkan kalimat syahadatain. “ Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu annaa Muhammadan rasulullah." (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Ujian ketiga ini mengandung dua macam pelajaran hikmah. Pertama, bahwa hubungan murid dengan guru harus tembus lahiriyah dan bathiniyahnya. Si murid harus mau dan berani bersusah payah demi memperoleh berkah ilmu dari guru, Sebaliknya si Guru harus suci lahir batinnya, memberikan ilmu kepada si murid hanya yang benar-benar haq dan dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Kedua menggambarkan sakralnya kalimah syahadatain sebagai gerbang rnemasuki agama Islam, agama Yang paling mulia dan utama di hadapan Allah SWT. sehingga harus dilakukan ditempat yang tinggi (awang-awang).Selesailah sudah ujian yang diberikan kepada Pangeran Natas Angin. Kanjeng Sunan Kalijaga bergembira di dalam hati karena calon muridnya lulus, dengan mulus tak ada kekurangan suatu apa. Selanjutnya pangeran Natas Angin diperintah Kanjeng Sunan Kalijaga supaya mengabdikan dirinya di Kasultanan Demak Bintoro dengan dasar rajin, dermawan dan ikhlas.
Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan kepada Pangeran Natas Angin, bahwa ada kewajiban tiga perkara yang harus dijalankan supaya manusia berhasil menemukan kemuliaan hidup di dunia hingga di akherat. Pertama harus selalu taat kepada Gusti Allah, kedua harus taat kepada Rasulullah, dan ketiga harus taat kepada para pemimpin. Termasuk taat kepada pemimpin adalah taat kepada Guru. Taat ketiga-tiganya penerapannya harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Kitab Al-Qur’an dan Al-Hadist itu merupakan sumber peraturan hidup yang harus dimengerti. Setelah dimengerti harus dijalani. Sebab tanpa guna orang yang ngalim kitab tanpa disertai ngalim laku. Kunci mabrurnya ngalim laku itu terletak pada dua sifat, yaitu Rajin dan dermawan (jawa : dhokoh dan loma). Siapa saja yang bisa menjalani dua sifat tadi dalam laku hidupnya, ya disitulah akan ditemukan jalan terdekat untuk bisa menjadi kekasih Allah (waliyullah), sebab sebenarnya para kekasih Allah itu memperoleh keluasan Rahmat dan Ridla dari Allah, bukan karena banyaknya ibadah yang dijalankan, tetapi karena keikhlasan hati dalam menjalani sifat dhokoh (rajin) dan loma (dermawan/pengasih) terhadap sesama manusia.
Menjadi orang dhokoh dan loma itu sangat berat cobaannya, sebab biasanya orang dhokoh (rajin) itu akan dijadikan kongkonan (suruhan) dan orang yang loma (dermawan/pengasih), biasanya akan dijadikan langganan. Dhokoh dan loma saja masih belum sempurna, jika belum disertai rasa Ikhlash, semata-mata karena merindukan keridlaan Allah. Demikianlah wejangan dasar yang diterima Pangeran Natas Angin dari Sunan Kalijaga. Selanjutnya Pangeran Natas Angin diperintahkan Sunan Kalijaga supaya mengabdi di Kerajaan Islam Demak serta menunjukkan darma baktinya bagi kejayaan Kesultanan Demak dengan dasar Dhokoh, loma dan iklas.

Pangeran Natas Angin Murid Pertama Sunan Kalijaga?
Menurut cerita yang pernah dituturkan oleh Abah Moezaini Abdul Ghofoer (ayah mertua penulis), Pangeran Natas Angin adalah murid pertama dari Sunan Kalijaga (Raden Sahid). Saat itu Sunan Kalijaga baru saja memperoleh Anugerah Agung dari Allah SWT, memperoleh wejangan ilmu hakikat “Iman Hidayat” dari Nabi Khidhir AS. Sejak itu nama Sunan Kalijaga semakin terkenal sebagai tokoh Walisanga yang memiliki keluasan ilmu-ilmu agama Islam, terutama dalam bidang kajian ilmu tasawuf. Beliau juga terkenal sebagai tokoh yang sakti mandraguna  (memiliki karomatullah  tingkat tinggi). Banyak sekali tokoh-tokoh pada zamannya yang ingin berguru ilmu-ilmu agama  lslam dan juga  ilmu-ilmu kesaktian kepada Sunan  Kalijaga...semoga bermanfaat

Sumber:                                                    (oleh Supriyo Ng.R., S.Pd)                   

Macan lambaraqna Gowa

Macan Lambaraqna Gowa : I Mappatakangtana Daeng Paduduq Tumenanga ri Makkayoang
Macan Lambaraqna Gowa (Harimau Liar dari Goa). Adalah sebuah gelar, sama dengan gelar-gelar lainnya seperti Macan Keboka ri Tallo, Macan Leqlenga ri Katangka, Macan Ejayya ri Sanrobone, Macan Beru Bakkaka ri Luwu.

Adalah, semoga saya tidak terkutuk, nama pribadi-Nya I Mappatakangtana. Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Paduduq (Tumenanga ri Makkayoang) yang digelar sebagai Macan Lambaraqna Gowa. Beliau adalah Somba [Raja Tallo IV, tak lain adalah Ayah dari I Mallingkaang Daeng Mannyonri Karaeng Katangka Karaeng Matowaya Sultan Abdu'llah Awwal al-Islam [Tu-Mammenanga-ri-Agamana]. Ayahnya adalah Karaeng Tunipasuru (Raja Tallo III), Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur, adalah I Mangayoang Berang. Nama Pakkaraenganna sebelum dia menjadi penguasa adalah Karaeng Pasi. Ibundanya adalah Tumamalianga ri Tallo, nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur adalah I Passile'ba, putri Karaeng Loe ri Maros.

Tumenanga ri Makkayoang, dikatakan bahwa selain menjabat sebagai Somba [Raja] Tallo, Dia juga mendampingi Somba [Raja] Gowa menjalankan pemerintahannya, yakni sebagai Mangkubumi [Tumabbicara Butta Gowa]. Dialah yang mendampingi Somba Gowa ke-X [Karaeng Tunipallangga Ulaweng] dalam usahanya untuk melanjutkan pembangunan dan perluasan wilayah kekuasaan Gowa,hingga masa pemerintahan Somba [Raja] Gowa ke-12 [I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa].

Dialah yang membujuk hingga akhirnya berhasil membawa pulang Karaeng Tunipallangga Ulaweng dari Papolong ke Gowa ketika sakit yang di deritanya bertambah parah sewaktu keduanya memimpin peperangan melawan Bone. Dia pula yang mewakili Gowa bersama I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa [putera mahkota pada saat itu] dalam perundingan [perjanjian perbatasan] yang di sebut Ulukanaya ri Caleppa [Kesepakatan di Caleppa], antara Gowa dan Bone.

Setelah Tumenanga ri Makkayoang wafat, maka yang menjadi Somba [Raja] Tallo adalah I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa merangkap sebagai Somba [Raja] Gowa.** Wassalam, Semoga manfaat...

Referensi : Dari berbagai sumber..
Adi Lagaruda

http://adhiehr.blogspot.co.id/2011/04/macan-lambaraqna-gowa-i-mappatakangtana.html?m=1

Karaeng Tumapakrisi kallonna


Karaeng Tumapakrisi Kallonna adalah anak dari Raja Gowa ke-7, Batara Gowa, dan ibunya bernama I Rejasi. Naik tahta sebagai Raja Gowa ke-9 (1511-1546) menggantikan saudaranya Raja Gowa ke-8, I Pakeretau Tunijallok ri Pasukki’ yang lain ibu [anak dari Karaenga Makeboka].

Dialah yang menjadi peletak dasar pertama penataan pemerintahan Kerajaan Gowa secara modern, dan kemudian mengantar Gowa sebagai kerajaan maritim yang terkenal di wilayah nusantara bahkan sampai ke luar negeri.

Karaeng Tumapakrisi Kallonna tercatat menikah sebanyak 2 [dua] kali. Dialah yang menikah dengan anak Tunilabu ri Suriwa [karaeng]. Mereka memiliki anak : Tunipalangga; Karaeng ri Bone (nama pribadi dari Karaeng ri Bone, semoga saya tidak terkutuk, I Tapacinna); Tunibatta; Karaeng ri Somba Opu, nama pribadinya semoga saya tidak terkutuk, bernama I Sapi. Juga dengan seorang wanita asal Polombangkeng. Seorang anak dari Karaeng Jamarang. Dikaruniai anak : Karaeng Jonggoa. putri lain adalah bernama I Kawateng.

Dialah penguasa [raja] yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang. Di masa kepemimpinan Karaeng Tumapakrisi Kallonna ini pulalah nama Daeng Pamatte selaku Tumailalang yang merangkap sebagai Syahbandar, berhasil menciptakan aksara Makassar yang terdiri dari 18 huruf yang disebut Lontara Turiolo [Huruf Makassar Tua].

Dialah penguasa yang menaklukkan Garassiq, Katingang, Parigi, Siang, Sidenreng. Yang menjadikan Sanrabone, Jipang, Galesong, Laba sebagai pengikut. Yang mengambil saqbu katina Bulukumba, Selayar [saqbu kati = bea perang]. Dialah yang menaklukkan Panaikang, Madalloq, Campa [ga]. Membuat perjanjian dengan orang-orang Maros, rakyat Polombangkeng, rakyat Bone. Adapun penguasa rakyat Maros adalah Karaeng Loe ri Pakere. Penguasa rakyat Polombangkeng adalah Karaeng Loe ri Bajeng. Sedangkan penguasa dari orang-orang Bone adalah Boteka (ayah dari Bongkanga).

Penguasa ini dipuji sebagai seorang yang memiliki sifat yang sangat istimewa; sangat cerdas [panrita dudu], sebagai penguasa baik dan adil. Gelarannya-ri juru pakkaraengna disebut I Kare Mannguntungi. Dialah yang membentuk komunitas [kampung] Bontomanaiq. Dia juga disebut Gallarrang Loaya.

Dikatakan, pada masanya, padi tumbuh subur, pun dengan tanaman lainnya [memberikan hasil yang baik]. Ikan yang banyak. Pada masa pemerintahannya ini pulalah orang Jawa yang bernama I Nagalasi datang dan berperang di Pammolikang. Selama tiga puluh enam tahun ia memerintah.

Pada masa Karaeng Tumapakrisi Kallonna inilah Goa dan Tallo berperang. Dimana Tallo didukung oleh rakyat Polombangkeng disebelah selatannya, dan oleh rakyat Maros disisi lainnya. Adapun penguasa [Karaeng] Tallo pada saat itu adalah Tunipasuruq. Nama pribadinya semoga saya tidak terkutuk, I Mangayoaberang. Yang memerintah di Maros disebut Patanna Langkana. Nama-nya setelah meninggal disebut Tumatinroa ri Buluqduaya. Nama pribadinya semoga saya tidak terkutuk, I Mappasomba. Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] I Daeng Nguraga. Dan yang memerintah di Bajeng adalah anak dari Karaeng Loe disebut I Pasairi. Dia adalah kakak I Daeng Masarro. Bersaudara dengan orang-orang [penguasa] yang memerintah di Sanrabone, di Lengkeseq, di Katingan, di Jamarang, di Jipang, di Mandalleq. Mereka tujuh bersaudara; semua memiliki payung kerajaan. Sedangkan Karaeng ini [Karaeng Tumapaqrisiq Kallonna] didukung oleh Gaukang Tallua. Karaeng ri Lakiung dengan Garudaya, rakyat Mangasa, Tomboloq, Saumata, dan Sudiang, di daerah Baroqbosoqlah mereka menyiapkan senjata mereka, berhadapan [berperang melawan] dengan rakyat Polombangkeng. Karaeng sendiri [Tumapakrisi Kallonna] dengan Sulengkaya, bersiap di Rappocini dengan orang-orang dari Sudiang, rakyat Manuju, rakyat Boriqsallo, berhadapan [berperang melawan] dengan rakyat Tallo dengan I Daeng Masarro sendiri yang berdiri langsung terhadap [para Karaeng]. Karaeng ri Data dengan Cakkuridia, Tamamangung serta Paccelekang, Pattalassang, Bontomanaiq, berhadapan dengan [berperang melawan] orang-orang Maros. Setelah pertempuran berkobar dikalahkanlah rakyat Talloq, rakyat Maros, rakyat Polombangkeng. Hingga ketiganya terusir ke kampung halaman mereka masing-masing. Orang-orang [rakyat] Tallo sendiri melarikan diri sampai jauh ke dalam kampung [daerah] Tallo. Hingga kemudian undangan dikirim ke Karaeng Tumapakrisi Kallonna. Untuk Ia dipersilahkan masuk ke Tallo. Selama tujuh [malam] diadakan pesta untuk menghormati beliau. Dari sinilah lahir perjanjian antara Gowa dan Tallo. Ini pulalah yang menjadikan kedua kerajaan ini menjadi satu dengan kesepakatan yang disebut "Rua Karaeng na Se're Ata" (Dua Raja Satu Rakyat). Yang mana mereka semua bersumpah sumpah [Karaeng Gowa dan Karaeng Tallo], juga semua gallarrang yang dilaksanakan di baruga [balai] kerajaan : "Iami anjo nasitalli'mo karaenga ri Gowa siagang karaenga ri Tallo, gallaranga iangaseng ribaruga nikelua. Ia-iannamo tau ampasiewai Gowa-Tallo, iamo nacalla rewata. (Barang siapa yang mengadu domba antara Gowa dan Tallo, dia akan dikutuk dewata)”.

Dikatakan bahwa dalam suasana perang, Dia membuat kesepakatan dengan Datu Luwu Matinroa ri Wajo. Juga dengan Karaenga ri Salumekko yang disebut Magajaya. Sanrabone, Jipang, Galesong, Agangnionjoq, Kawu, Pakombong dan menjadikannya sebagai pengikut Gowa. Dia juga yang pertama mengundang orang Portugis datang ke Gowa [Makassar]. Pada tahun yang sama Dia menaklukkan Garassiq, Malaka juga ditaklukkan oleh Portugis. Dikatakan pula selama Karaeng ini memerintah tidak ada pencuri di negeri ini.

Nama kerajaan-Nya [Paddaengangna] dari Karaeng ini adalah I Daeng Matanre. Nama pribadi-Nya tidak ada yang tahu, di antara semua orang yang ditanya tidak ada yang tahu.

Karaeng Tumapakrisi Kallonna, meninggal karena sakit. Setelah Karaeng Tumapakrisi Kallonna wafat, Dia digantikan oleh anaknya yang bernama Tunipallangga sebagai penguasa [raja] Gowa X. Nama pribadinya semoga saya tidak terkutuk, I Mariogauq. Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] I Daeng Bonto, nama Pakkaraenganna sebelum ia menjadi penguasa adalah Karaeng Lakiyung.** Wassalam, Semoga manfaat...

Sumber : Lontara.
Oleh : A.L.
http://adhiehr.blogspot.co.id/2011/04/karaeng-tumapaqrisiq-kallonna.html?m=1

Bajeng, Negeri Asal Hang Tuah


Hang Tuah adalah seorang pahlawan dan tokoh legendaries Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Ia adalah seorang pelaut dengan pangkat laksamana dan juga petarung yang hebat di laut maupun di daratan.

Asal-usulnya
Bermula, pada suatu hari. Sultan Mansur Syah berfikir hendak mengirim utusan ke Mengkasar [Makassar], maka Baginda pun memanggil Bendahara Paduka Raja (Bendahara sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang). Setelah Bendahara Paduka Raja datang menghadap, maka baginda pun berkata, "Hamba hendak mengirim utusan ke Mengkasar [Makassar]. Bagaimana pendapat Bendahara, apakah hal ini baik atau buruk?" Maka sembah Bendahara, "Sebaik-baik pekerjaan tuanku, berbanyak-banyak sahabat daripada seteru."
Maka titah baginda, "Karanglah surat Hamba kepada raja Mengkasar [Makassar]." Maka Bendahara pun bermohonlah kepada baginda, lalu kembali untuk mengarang surat Sultan Mansur Syah kepada raja Mengkasar [Makassar]. Setelah surat tersebut selesai, lalu dipersembahkannya kepada Baginda; Baginda pun menyuruh untuk membacakannya.
Setelah Sultan Mansur Syah mendengar bunyi surat itu, terlalulah baginda berkenan. Adalah utusan yang dikirim itu : Seri Bija Pikrama dengan Tun Sura Diraja. Maka keduanya pun menjunjung duli; surat pun diarak dengan gendang serunainya, nafiri, dengan payung putih satu dan payung kuning satu. Maka sampailah kejambatan, maka kedua utusan itu pun turunlah ke perahunya menyambut surat itu, adapun yang mengantar surat itu adalah pegawai sebanyak empat orang. Setelah surat sudah turun maka yang menghantar pun kembalilah, selanjutnya Seri Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja pun belayarlah.
Beberapa lama di jalan maka sampailah ke Mengkasar [Makassar], dipelabuhannya. Maka dipersembahkan orang kepada raja Goa, untuk mengatakan bahwa utusan dari Melaka datang. Maka raja Goa pun keluarlah dikawal oleh karaeng-karaeng beserta hulubalang dengan segala juak-juaknya, penuh dari balai datang ke tanah, orang yang mengadap. Maka surat pun disuruhnya sambut dengan selayaknya, betapa adat menyambut surat raja-raja yang besar-besar itu, demikianlah dibuatnya dengan hormat mulianya; delapan orang hulubalangnya, diarak dengan bunyi-bunyian, Setelah datang, disambut oleh penghulu bentaranya, dipersembahkannya kepada raja di Goa. Maka disuruhnya baca, setelah sudah dibaca, maka raja di Goa pun terlalu sukacita mendengar bunyi surat raja Melaka yang mengatakan daripada jalan muafakat itu. Setelah itu Seri Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja pun naiklah menyembah raja di Goa, lalu duduk bersama-sama dengan hulubalangnya. Maka segala bingkisan pun dibawa oranglah masuk.
Selanjutnya berkatalah raja di Goa, "Hei Orang Kaya, apa khabar saudaraku di Melaka, tiada ia sakit-sakit? Dan apa kehendaknya menyuruhkan Orang Kaya kedua ini, apa hendak dicari?"
Maka sahut Seri Bija Pikrama, "Khabar baik karaeng. Tidak apa kehendak paduka adinda menyuruh mengadap tuanku, sekadar hendak mufakat juga, karaeng." Maka raja di Goa pun terlalu suka, seraya berkata, "Aku pun demikian lagi Orang Kaya, hendak mufakat dengan saudaraku raja Melaka."
Maka sirih berkelurupang berceper pun datanglah, diberikan kepada Seri Pikrama dan Tun Sura Diraja. Maka kedua tempat sirih itu diberikannya kepada budak-budaknya, Seketika duduk, maka raja di Goa pun masuk; maka segala yang mengadap itu masing-masing kembalilah, maka Seri Bija Pikrama, dan Tun Sura Diraja pun turunlah ke perahu. Maka raja Mengkasar [Makassar] pun menyuruh menghantar pada kedua utusan itu, daripada sirih-pinang dan buah-buah serta dengan juadahnya.
Adapun akan Seri Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja, beberapa kali diperjamu oleh raja di Goa, Senantiasa ia mengadap dan berkata-kata dengan baginda.
Hatta angin musim pun telah bertiuplah; pada suatu hari datanglah Seri Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja mengadap raja di Goa hendak bermohon kembali. Maka sembahnya, "Karaeng, patik hendak bermohon, kerana musim sudah ada."
Maka titah raja di Goa, "Baiklah Orang Kaya; apa kegemaran saudaraku raja Melaka, supaya aku carikan."
Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Tuanku, kegemaran paduka adinda itu, jikalau ada seorang laki-laki yang baik rupanya dan sikap serta dengan beraninya, itulah kegemaran paduka adinda."
Maka titah raja di Goa, "Orang yang bagaimana itu? Anak orang baikkah? Atau sembarang orangkah?"
Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Jikalau boleh, anak orang baiklah, karaeng."
Setelah baginda mendengar kata Seri Bija Pikrama itu, maka titah raja di Goa kepada juak-juaknya, "Pergi engkau semua carikan aku, anak daeng yang baik, anak hulubalang yang baik; barang yang baik rupanya dan sikapnya engkau ambil."
Maka segala juak-juaknya pun pergilah mencari anak orang, diseluruh kampung dan dusun dicarinya tiada didapatkan. Maka didengarya ada anak raja Bajung [Bajeng] yang terlalu baik rupanya dan sikapnya, ayahnya sudah mati. Maka segala juak-juak itu pun pergilah ke Bajung [Bajeng]. Setelah sampai, dilihatnya sungguh seperti khabar itu, lalu diambilnya, dibawanya kembali mengadap raja di Goa dan dipersembahkannya.
Maka oleh raja di Goa, ditunjukkannya itu. Maka titah baginda, "Bagaimana dengan orang ini, berkenankah saudaraku di Melaka, orang kaya?"
Maka dipandang oleh utusan kedua itu, terlalulah ia berkenan dengan gemarya. Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Demikianlah tuanku, yang dikehendaki paduka adinda."
Maka titah baginda, ''Jika demikian orang ini saja Orang Kaya, aku kirimkan kepada saudaraku raja Melaka, ia ini anak raja Bajung, sebagai tanda mufakat, serta dengan kasihku akan saudaraku raja Melaka, maka aku berikan."
Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Seperti titah tuanku; yang titah paduka adinda pun demikian juga, tuanku. "
Adapun anak raja Bajung itu Daeng Merupawah namanya; umurnya baru dua belas tahun. Diceriterakan orang yang empunya ceritera, sudah dua kali ia membunuh, mengembari orang mengamuk di negeri.
Setelah keesokan hari, maka utusan kedua itu pun naiklah mengadap raja Mengkasar [Makassar], didapatinya raja di Goa telah pepak diadap orang. Maka Seri Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja pun duduk menyembah. Maka oleh raja di Goa utusan kedua itu dipersalini dengan sepertinya. Maka keduanya menyembah. Maka titah raja di Goa, "Katakan kepada saudaraku, Orang Kaya, akan Daeng Merupawah ini petaruhku Orang Kaya kepada saudaraku, raja Melaka. Perhamba ia baik-baik, dan kalau ada sesuatu yang dikehendaki oleh saudaraku, raja Melaka, dalam Mengkasar [Makassar] ini, cukup menyuruh ia kepada aku." Maka sembah utusan kedua itu, "Baiklah tuanku."
Setelah itu maka kedua utusan itu pun bermohonlah, lalu turun. Maka surat dan bingkisan pun diarak oranglah dengan selengkap alatnya, dengan segala bunyi-bunyian. Setelah datang ke perahu maka surat serta bingkisan itu disambut oranglah, disirupan. Maka segala yang menghantar itu pun kembalilah; maka Daeng Merupawah serta dengan Seri Bija Pikrama, kedua buahnya itupun belayarlah kembali.?*
Beberapa lamanya di jalan, maka sampailah ke Melaka. Maka dipersembahkan orang kepada Sultan Mansur Syah, mengatakan Seri Bija Pikrama telah datang. Maka baginda pun keluarlah, semayam diadap segala Orang Besar-besar dan hulubalang sida-sida, bentara, biduanda, Hamba raja sekalian. Maka surat itu disuruh baginda sambut dengan istiadatnya. Maka Sed Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja pun bersama-sama baginda, serta membawa Daeng Merupawah.
Setelah sampai ke balai, maka surat disambut bentara dipersembahkan ke bawah duli baginda; maka disuruh baca kepada khatib. Setelah sudah dibaca, maka Sultan Mansur Syah pun terlalu sukacita mendengar bunyi surat raja Mengkasar [Makassar] itu. Maka Seri Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja pun naik menjunjung duli, lalu duduk mengadap kepada tempatnya sedia itu; maka Daeng Merupawah pun dipersembahkan ke bawah duli dengan segala pesan raja Mengkasar [Makassar] itu semuanya dipindahkannya.
Maka Sultan Mansur Syah pun terlalu suka, serta berkenan baginda memandang rupa dan sikapnya Daeng Merupawah itu. Maka titah baginda, "Bagaimana sampai raja Mengkasar [Makassar] bisa mengirim anak raja Bajung ini? Dilanggarkah raja Bajung maka anaknya tertawan ini?"
Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Tiada tuanku, raja Mengkasar [Makassar] bertanya kepada patik akan kegemaran duli tuanku maka patik katakan gemar akan orang yang baik rupa." Mala semuanya perihal ehwalnya habis dipersembahkannya ke bawah duli Sultan Mansur Syah. Maka baginda pun suka, serta Seri Bija Pikrama dipuji baginda. Maka Daeng Merupawah itu dinamai baginda Hang Tuah, itulah asal Hang Tuah; maka dipeliharakan oleh baginda dengan sepertinya, terlalu kasih baginda akan Hang Tuah, maka dianugerahi akan dia sebilah keris terupa Melaka dengan selengkap perhiasannya.
Adapun Hang Tuah selama ia di Melaka, tiada lain kerjanya, hanya berguru akan ilmu hulubalang. Barang siapa yang lebih tahunya dimasukinya; adalah kepada zaman itu tiadalah dua orang-orang muda sebagainya.
Adapun "Perhangan" ke bawah duli Sultan Mansur Syah yang setelah sudah pilihan delapan orang, iaitu Hang Jebat, dan Hang Kasturi, dan Hang Lekir, dan Hang Lekiu, dan Hang Ali dan Hang Iskandar, dan Hang Hassan, dan Hang Hussin; dan tua-tuanya Tun Bija Sura, menjadi sembilan dengan Hang Tuah. Sekaliannya berkasih-kasihan, mufakat, sama berilmu, tetapi kepada barang main tewas semuanya oleh Hang Tuah. Demikianlah diceriterakan oleh yang empunya ceritera.
Demikianlah sepenggal cerita dalam Sejarah Melayu (SULALATUS SALATIN) mengenai pribadi dan asal-usul Hang Tuah.
Sekilas tentang Kerajaan Bajeng
Bajung [Bajeng] atau juga sering disebut Kerajaan Bajeng adalah salah satu kerajaan yang terdapat di daerah sulawesi selatan, tepatnya disebelah selatan Kerajaan Goa dahulu [Makassar]. Adapun penguasa [Raja] dari kerajaan ini disebut Karaeng Loe ri Bajeng, sedangkan masyarakatnya dahulu di kenal dengan nama Tu Polongbangkeng.
Wallahu a’lam bisshawab. Semoga manfaat.

Atlas Novus (Peta Dunia)

Atlas Novus (Peta Dunia) pesanan Karaeng Pattingalloang Abad XVI.